Lompat ke isi

Neoplatonisme

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Neoplatonisme dibangun oleh Plotinus (204 M) yang merupakan filosof besar fase terakhir Yunani.[1] neoplatonisme merupakan rangkaian terakhir dari fase Helenisme Romawi, yaitu suatu fase pengulangan ajaran Yunani yang lama, jadi aliran ini masih berkisar pada filsafat Yunani, yang teramu dalam mistik (tasawuf Timur), dan juga digabung dengan berbagai aliran lain yang mendukung.[1] Akibatnya, di dalamnya kadang terjadi tabrakan antara filsafat Yunani dengan agama-agama samawi.[1] neoplatonisme ini terdapat unsur-unsur Platonisme, Phytagoras, Aristoteles, Stoa, dan mistik Timur, jadi, berpadu antara unsur-unsur kemanusiaan, keagamaan dan mistik.[1]

Sejarah Neoplatonisme

[sunting | sunting sumber]
Plotinus

Aliran yang berupaya menggabungkan ajaran Plato dan Aristoteles dikenal dengan sebutan neoplatonisme, yang merupakan puncak terakhir dalam sejarah filsafat Yunani.[2][3] aliran ini bermaksud menghidupkan kembali filsafat Plato.[3] tetapi itu tidak berarti bahwa pengikut-pengikutnya tidak dipengaruhi oleh filsuf-filsuf lain, seperti Aristoteles misalnya dan aliran Stoa.[3] sebenarnya ajaran ini merupakan semacam sintesis dari semua aliran filsafat sampai saat itu, dimana Plato diberi tempat istimewa.[3] yang berpengaruh aliran ini adalah Ammonius Saccas. Saccas adalah filsuf yang mengajar di Alexandria, Mesir, pada paro pertama abad ketiga.[2]

Tokoh neoplatonisme yang dianggap representatif ialah Plotinus, murid Ammonius Saccas.[2] plotinus lahir di Lycopolis, Mesir, pada tahun 205 dan meninggal di Campania pada tahun 270 M.[2] plotinus berguru pada Saccas selama 11 tahun.[2] ia mempelajari falsafah Yunani sejak berusia 27 tahun, terutama karya-karya Plato.[2] ia datang ke Roma sekitar tahun 244 M dan mengajar falsafah sekitar 25 tahun.[2] plotinus yang berupaya memadukan ajaran Aristoteles dan Plato, hanya saja pada praktiknya, ia lebih condong pada ajaran-ajaran Plato.[2] aliran baru yang dirintisnya mencakup berbagai pemikiran dari berbagai negara dan menjadi pusat bagi peminat falsafah, ilmu, dan sastra.[2]

Plotinus juga mendalami ajaran-ajaran mistik India dan Persia, yang saat itu sedang populer.[2] plotinus dikenal sebagai guru yang sangat dihormati, bahkan di antara murid-murid Plotinus ada yang mendewakannya.[2] meski demikian, ia tetap bersikap rendah hati.[2] plotinus tidak berniat mendirikan aliran falsafah sendiri, ia hanya ingin mendalami filosofi Plato, sehingga filosofinya dinamakan neoplatonisme.[2] plotinus tidak menuliskan ajarannya hingga ia berusia 50 tahun.[2] sebelum Plotinus meninggal, ia mewariskan 54 karangan yang dikumpulkan dan diedit oleh salah satu muridnya, Porphyry, dalam enam kelompok yang dikenal dengan Enneads.[2]

Plotinus menyesuaikan filsafat Plato dalam cara-cara yang penting dan karyanya diterbitkan oleh muruidnya Porphyry (±232-305).[4] filsafat ini kemudian dikenal sebagai neoplatonisme.[4] plotinus percaya bahwa ciptaan melimpah (atau mengalir) dari Yang Esa yang adalah Yang Baik.[4] segala sesuatu yang ada pasti baik, atau memuat kebaikan, kalau tidak ia tidak dapat ada sama sekali.[4]

Pokok-pokok Pemikiran

[sunting | sunting sumber]

Dialektika

[sunting | sunting sumber]

Seluruh sistem filsafat Plotinus berkisar pada konsep kesatuan, yang disebutnya dengan nama “Yang Esa”, dan semua yang ada berhasrat untuk kembali kepada “Yang Esa”. Oleh karenanya, dalam realitas seluruhnya terdapat gerakan dua arah: dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas,[3] yaitu:
a. Dialektika menurun (a way down)[1]
b. Dialektika menaik (a way up)[1]

Dialektika Menurun

[sunting | sunting sumber]

Dialektika menurun digunakan untuk menjelaskan “Wujud Tertinggi” dan cara keluarnya dari-Nya. Penjelasannya terhadap Wujud tertinggi itu, Plotinus terkenal dengan teorinya “Yang Esa”, yaitu keluarnya alam dari “Yang Esa”, ia sampai kepada kesimpulan bahwa semua yang wujud, termasuk di dalamnya wujud pertama (Yang Esa), merupakan rangkaian mata rantai yang kuat dan erat, dan kemudian dalam studi kegamaan dikenal dengan istilah “kesatuan wujud”.[1]

Plotinus sangat mementingkan kesatuan. Semua makhluk yang ada, bersama-sama merupakan keseluruhan yang tersusun sebagai suatu hierarki. Pada puncak hierarki terdapat “Yang Esa” (bahasa Yunani: to hen). Setiap taraf dalam hierarki berasal dari taraf lebih tinggi yang paling berdekatan dengannya. Taraf satu berasal dari taraf lain melalui jalan pengeluaran atau “emanasi” (bahasa Inggris: emanation). Dengan istilah “emanasi” ditunjukkan bahwa pengeluaran itu secara mutlak perlu, seperti air sungai secara mutlak perlu memancar dari sumbernya. Taraf lebih tinggi tidak bebas dalam mengeluarkan taraf berikutnya, tetapi dalam proses pengeluaran ini taraf yang lebih tinggi tidak berubah dan kesempurnaannya tidak hilang sedikit pun. Proses pengeluaran digambarkan Plotinus sebagai berikut: dari “Yang Esa” dikeluarkan Akal (Nous). Akal ini sama dengan ide-ide Plato yang dianggap Plotinus sebagai suatu intelek yang memikirkan dirinya sendiri. Jadi, akal sudah tidak satu lagi, karena di sini terdapat dualitas: pemikiran dan apa yang dipikirkan. Dari akal itu, jiwa (psykhe) berasal, dan akhirnya dari jiwa dikeluarkan materi (hyle), yang bersama jiwa merupakan jagad raya. Selaku taraf yang paling rendah dalam seluruh hierarki, materi adalah makhluk yang paling kurang kesempurnaannya dan sumber segala kejahatan.[3]

Dialektika menaik

[sunting | sunting sumber]

Dialektika menaik digunakan untuk menjelaskan soal-soal akhlak dan jiwa, dengan maksud untuk menentukan kebahagiaan manusia.[1]

Setiap taraf hierarki mempunyai tujuan untuk kembali kepada taraf lebih tinggi yang paling dekat dan kerena itu secara tidak langsung menuju ke “Yang Esa”. Karena hanya manusia mempunyai hubungan dengan semua taraf hierarki, sialah yang dapat melaksanakan pengembalian kepada “Yang Esa”. Hal ini dapat dicapai melalui tiga langkah. Langkah pertama adalah penyucian, di mana manusia melepaskan diri dari materi dengan laku tapa. Langkah kedua adalah penerangan, dimana ia diterangi dengan pengetahuan tentang Idea-idea akal budi. Akhirnya, langkah ketiga adalah penyatuan dengan “Yang Esa” yang melebihi segala pengetahuan. Langkah terakhir ini ditunjukkan Plotinus dengan nama “ekstase” (ecstacy). Porphyry menceritakan bahwa selama 6 tahun ia bersama Plotinus, empat kali ia menyaksikan gurunya mengalami ekstase tersebut.[3]

Dua dialektika itu, oleh Plotinus dikembangkan teori tentang asal usul alam semesta yang tampaknya juga merupakan gabungan dari teori-teori Plato dan Aristoteles, yang kemudian dikenal sebagai sistem emanasi. Dunia tidak lagi dipandang sebagai suatu wujud yang diciptakan dari materi yang ada sejak sebelumnya (pre-existent matter), yang mana dia itu sendiri, kekal bersama-sama “Yang Baik” (menurut Plato), dan juga bukan dipandang sebagai wujud yang keseluruhan dan kesempurnaannya kekal bersama-sama “Yang Esa” (menurut Aristoteles); sekarang dia dipandang sebagai wujud yang dihasilkan atau dipancarkan dari hakikat kesejatian “Yang Esa” secara kekal, jadi pandangan yang baru ini berusaha menafsirkan kepercayaan kepada penciptaan alam dari tiada (ex nihilo) sebagai suatu tindak penciptaan dunia yang melibatkan waktu dari hakikat “Yang Esa”.[1]

Jika ajaran Plato berpangkal pada “Yang Baik”, yang meliputi segala-galanya, maka ajaran Plotinus berpangkal pada “Yang Esa”. Menurut Plotinus, “Yang Esa” itulah pangkal dari segala-galanya. Filosofi Plotinus berpusat pada keyakinan bahwa “Yang Esa” adalah satu dengan tidak ada pertentangan di dalamnya. “Yang Esa” adalah “Yang Asal”, dan itulah permulaan dan sebab Yang Esa dari segala yang ada. “Yang Esa” itu sempurna, tidak mencari dan tidak memiliki apa-apa. Dari “Yang Esa” itulah keluar sesuatu dari kemudian mengalir menjadi barang-barang yang ada. Dalam menerangkan munculnya keragaman dari “Yang Esa”, Plotinus menyebutkan dengan emanasi dari Dia. Plotinus inilah Yang Esa kali memunculkan konsep emanasi.[2]

Dalam pandangan filsuf terdahulu, “Yang Asal” disebut Penggerak Pertama. Dalam konsep Penggerak Pertama terdapat dua pemahaman yang dapat dimengerti, yakni yang bekerja dan yang dikerjakan, jiwa dan benda. Penggerak Pertama berada di luar alam lahir dan bersifat transedental. Alam sendiri terjadi atas limpahan dari “Yang Asal” dan yang mengalir tetap merupakan bagian dari “Yang Asal”. Oleh karena itu, “Yang Asal” tidak berada di dalam alam akan tetapi sebaliknya alam berada di dalam “Yang Asal”. “Yang Asal” dan yang mengalir selalu berhubungan, semakin jauh mengalir dari asalnya maka yang mengalir semakin tidak sempurna. Alam bukan ciptaan “Yang Asal”, melainkan terjadi menurut pelimpahan dari-Nya. Alam raya ini adalah bayangan yang tidak sempurna dari asalnya, dan kesempurnaan bayangan alam ini bertingkat sesuai jaraknya dari sumbernya. Proses pemancaran dari “Yang Asal” ini dapat dianalogikan dengan proses pancaran cahaya, semakin jauh pancarannya itu dari sumber cahaya maka semakin redup dan berkurang tingkat kejelasan pancaran cahayanya. Semakin jauh dari sumbernya maka akan semakin redup dan akhirnya gelap. Emanasi alam tidak tunduk dalam dimensi ruang dan waktu, sebab dimensi itu berada pada posisi terbawah dari proses emanasi. Dimensi ruang dan waktu adalah konsep yang terjadi di dunia lahir.[2]

Tahap-tahap Wujud

[sunting | sunting sumber]

Salah satu persoalan dasar paling pokok dalam ajaran neoplatonisme adalah bagaimana mendamaikan dua macam hal, yakni “Yang Esa” dan segala macam wujud yang fana, sementara mereka sama-sama tidak mempunyai apa pun yang serupa antara yang satu dengan yang lainnya. Untuk itu model emanasi, dirancang untuk menjelaskan bagaimana segala sesuatu yang tidak memiliki unsur kesamaan antara satu dengan yang lain, pada saat yang sama, juga benar-benar saling berhubungan. Dengan teori emanasi itulah, akhirnya terdapat apa yang disebut unity of being, kesatuan wujud.[1]

Aristoteles, dalam metafisikanya juga hendak menghubungkan kedua alam itu, sambil berupaya menghindarkan kekurangan-kekurangan yang ada dalam sistem filsafat Plato. Aristoteles menggunakan teori form dan matter, dan kadang teori potensial being dan actual being. Ia mengatakan bahwa form murni (pure form) diambil dari “matter murni” (pure matter). Atau penggambaran “wujud yang ajaib” diambil dari “wujud yang mungkin”. Jadi form murni (zat yang ada dengan sendirinya) menjadi sumber bagi “benda murni” atau “wujud yang mungkin” (yakni alam yang bisa disaksikan). Dengan begitu, maka Aristoteles telah mencoba menghubungkan kedua macam wujud yang ada, yaitu wujud sempurna yang berdiri sendiri dengan alam lain yang membutuhkannya. Aristoteles juga menekankan bahwa yang sempurna (form murni) menarik “yang tidak sempurna” (alam benda). Alam yang terakhir ini bergerak menuju ke arah wujud Yang Esa, karena ingin menjadi sempurna juga. Jadi menurut Aristoteles, Yang Esa bersifat menggerakkan, dan dengan begitu ia tidak bergerak.[1]

Plotinus yang datang kemudian, juga mencoba menyempurnakan ajaran keterhubungan antara dua wujud tersebut. Hanya saja cara yang ditempuhnya lain. Ia menggunakan pokok pikiran bahwa di antara semua wujud ini, ada wujud tertinggi, yang disebut “Yang Esa” atau “Wujud Tertinggi”, dan ada pula wujud yang terendah, yaitu alam materi. Sementara di antara kedua wujud tersebut, terdapat wujud-wujud yang lain. Menurut Plotinus, wujud keseluruhannya ada empat,[1] yaitu:
a. Yang Esa (to hen)
b. Akal (nous)
c. Jiwa (psykhe)
d. Materi (hyle)

Yang Esa (To Hen)

[sunting | sunting sumber]

Menurut filosofi Plotinus, alam semesta bukanlah ciptaan “Yang Esa”, melainkan limpahan dari “Yang Esa” melalui proses emanasi2. tujuan akhir dari semua wujud adalah terserap kembali ke dalam “Yang Esa”, tempat asalnya. Sifat “Yang Esa” adalah di luar jangkauan pemahaman manusia.[2]

Menurut ajaran Plotinus, ada tiga tahap proses emanasi dan reabsorsi yang berbeda. Reabsorsi atau remanasi sendiri merupakan tujuan setiap jiwa. Menurut Plotinus, ada tiga tahap penyatuan kembali manusia dengan “Yang Esa”: pertama melakukan amal saleh; kedua, berfilsafat; dan ketiga, dengan jalan mistik.[2]

Selain persoalan teologis dan kosmologis, Plotinus juga mengembangkan ajaran tentang etika.Ajaran Plotinus terfokus dalam tiga kajian inti, yakni “Yang Esa” (The One), akal (intellect), dan jiwa (soul). “Yang Esa”adalah sumber wujud melalui emanasi. Dia merupakan object yang tak terpahami dan semuanya bergerak menuju kepada-Nya. “Yang Esa” dan materi adalah dua kutub utama alam semesta. “Yang Esa” sebagai kekuatan aktif dan alam sebagai penerima pasif. Materi tidak mempunyai realitas hakiki dengan sendirinya, dan hanya ada satu prinsip tertinggi, yaitu “Yang Esa” (waajib al wujuud). “Yang Esa” tidak dapat dibagi-bagi. Yang Esa adalah sumber segala wujud yang ada, tetapi bukan merupakan bagian.[2]

“Yang Esa” tidak memiliki kehendak dan intelegen, sebab Dia tidak dibatasi oleh kebodohan dan hasrat. “Yang Esa” tidak bebas ataupun terikat. Menyifati “Yang Esa” dengan sifat-sifat tertentu tidak mudah. Dia transeden pada semua wujud yang terbatas. Tuhan melebihi manusia dalam berpikir. Berpikir adalah sesuatu yang tidak terelakkan sebagai wahana untuk sampai ke pintu gerbang penyucian. Berpikir juga merupakan awal menuju dunia mistik dan menyatu dengan “Yang Esa”. Alam semesta merupakan emanasi “Yang Esa”, seperti tungku dan cahaya yang memancar dari pusat api: semakin dekat ke api, semakin terang cahaya dan sinarnya, dan sebaliknya, semakin jauh dari sumber api maka cahaya dan sinarnya, dan sebaliknya, semakin jauh dari sumber api maka cahaya dan sinarnya menjadi kurang. Bahkan jika jarak dari api semakin jauh dan menjauh maka panas dan cahaya pun akan hilang sama sekali.[2]

Akal (Nous)

[sunting | sunting sumber]

Akal keluar langsung dari “Yang Esa” dengan kedudukan sebagai asal pertama. Keesaan “Yang Esa” dari segala segi, menjadi berbilang dengan akal, sebab dengan adanya akal, maka ada lagi yang menjadi objek pemikiran (ma’qul). Akal keluar dari “Yang Esa” bukan dalam proses waktu, sebagaimana dengan wujud abstrak lainnya. Akal keluar dari “Yang Esa” tidak mempengaruhi kesempurnaan-Nya, demikian pula keluarnya yang kurang sempurna dari yang lebih sempurna. Kesempurnaan ini tidak terpengaruh, sebab apa yang keluar daripada-Nya hanya berarti ikut pada-Nya, dan kepada-nya pula tergantung adanya. Seperti halnya dengan bilangan eka (satu) yang menjadi sebab adanya bilangan-bilangan yang lain, yang keluarnya tidak mempengaruhi keesaan bilangan itu. Akal keluar dari “Yang Esa” dengan sendirinya, tidak perlu mengandung paksaan atau perubahan pada-Nya, sebab penetapan kehendak berarti merusak keesaan-Nya, sebab dengan sendirinya ada yang dikehendaki. Dengan alasan “keluar dengan sendirinya”, maka keesaan “Yang Esa” teteap terpelihara tanpa menimbulkan bilangan. Dalam hal ini, Plotinus mengiaskan “Yang Esa” dengan matahari, yang menyinari alam sekelilingnya tanpa mempengaruhi keadannya sendiri.[1]

Kedudukan akal di antara semua wujud ialah sebagai pembuat alam (shani’ al-alam). Akal ini juga mengandung ide-ide dari Plato. Menurut plotinus, kalau alam abstrak, yaitu alam itu tidak terdapat di dalam akal, maka akal tidak mempunyai hakikat, tetapi hanya gambaran dari hakikat. Dan ini suatu tanda ketidaksempurnaan, sedangkan seharusnya akal ini sempurna. Dengan jalan menjadi “Yang Esa”, sama dengan idea of God dari Plato, maka Plotinus telah mengambil ide Plato seluruhnya, dan dipakainya untuk menafsirkan wujud pertama dan urut-urutan wujud lainnya.[1]

Jiwa (Psykhe)

[sunting | sunting sumber]

Jiwa memandang akal sebagai yang menciptakannya dan jiwa tersebut memberi sinar pada alam indrawi (sensual world) dengan segala sesuatu yang terdapat di dalamnya. Kedudukan jiwa adalah sesudah akal, dan merupakan akhir wujud alam abstrak, serta menjadi penghubung, antara alam indrawi dan dunia gaib, atau alam ketuhanan.[1]

Karena kedudukannya itu, maka jiwa alam dari satu segi terbagi, dan dan dari segi lain tidak terbagi. Ia tidak terbagi, karena jiwa adalah sesuatu yang abstrak. Ia tidak terbagi menurut banyaknya tempat, tetapi terbagi karena ia masuk alam indrawi dan terdapat dimana-mana meskipun wujud tersebut adalah wujud keseluruhan tanpa dibagi-bagi sebagai wujud yang menggerakkan dan sebagi kekuatan pemeliharaan. Karena tabiatnya itu, yaitu bisa dibagi dan bisa tidak terbagi, maka Plotinus tidak menganggap jiwa tergolong dalam alam azali yang supersensual sama sekali. Ia juga tidak menggolongkan dalam alam materi sama sekali, tetapi hanya mengatakan bahwa itu terdapat padanya.[1]

Adanya tingkatan-tingkatan wujud ini menyebabkan Plotinus mengatakan adanya dua macam jiwa,[1] yaitu:
a. jiwa yang tidak berhubungan langsung dengan alam indrawi, yaitu jiwa yang dekat dengan akal.
b. Jiwa yang merupakan wakil jiwa Yang Esa, yang menjadikan alam indrawi dan disebut tabiat alam ini.

Nama-nama ini dipilihnya untuk menghindari adanya suatu jiwa yang mempunyai dua arah: arah ke atas, yaitu kepada akal, dan arah ke bawah, yaitu kepada arah alam materi. Jiwa adalah wakil akal dalam memelihara dan mempengaruhi alam di bawahnya, dan sebagaimana akal itu sendiri menjadi wakil “Yang Esa”. Karenanya, Plotinus mengharuskan alam materi ini mensyukuri akal, bukan mensyukuri jiwa atas nikmat wujud yang diberikan kepadanya. Plato sebelumnya juga telah mengharuskan alam materi ini mensyukuri alam ide, dengan alasan yang sama. Ide Plato ini sudah dimasukkan oleh Plotinus ke dalam akal, maka Plato dan Plotinus sependapat bahwa yang mempunyai kekuatan untuk mewujudkan dan memelihara adalah wujud kedua, yaitu “ide” menurut Plato, atau “akal” menurut Plotinus. Persamaan pendapat ini bukan karena kebetulan, tetapi memang karena Plotinus mengikuti Plato.[1]

Materi (Hyle)

[sunting | sunting sumber]

Tingkatan alam materi adalah sesudah alam jiwa, dan menjadi asal (sumber) bagi alam lahir ini. Atau dengan kata lain, alam ini adalah refleksinya, sebab materi tersebut adalah di luar hakikat (reality), disebabkan oleh ketidaksempurnaannya, sedangkan alam abstrak semuanya adalah hakikat. Demikian pula halnya dengan alam ini, ia tidak mempunyai hakikat dan tidak sempurna. Hakikat dan kesempurnaan yang ada padanya hanyalah bayangan belaka, atau salinan dari alam abstrak.[1]

Materi menjadi sebab ketidaksempurnaan dan kekurangan. Karenanya, ia merupakan mata rantai tertinggi dan puncaknya. Sinar yang keluar dari “Yang Esa” ini, dengan melalui akal dan jiwa, kemudian berangsur-angsur menjadi kegelapan pada alam materi. Hakikat yang ada pada pada “Yang Esa” berangsur-angsur juga menjadi ketiadaan hakikat (irreality). Demikian pula kebaikan “Yang Esa” berangsur-angsur menjadi keburukan. Maka, alam materi ini adalah kumpulan kegelapan, keburukan, dan ketiadaan hakikat. Pikiran Plotinus terhadap materi tersebut bertemu dengan pikiran Plato. Pada bukunya Timaeus, Plato mengatakan bahwa materi sebagai pihak yang berhadapan dengan akal, merupakan faktor kedua dalam kejadian alam ini. Materi ini menerima pengaruh dan menjadi tempat segala pengaruh. Bagi Plato, materi ini menjadi penjara bagi jiwa.[1]

Plotinus menganggap ada materi lain yang terdapat di dalam alam abstrak, sedangkan alam lahir ini merupakan cermin (gambaran) dari alam abstrak. Maka, yang akhir ini pun materi pula, hanya saja materi terakhir ini tidak mengandung keburukan dan ketidakhakikatan, seperti yang terdapat dalam alam lahir. Pikiran Plotinus ini juga tidak terlepas dari Plato yang mengatakan bahwa alam lahir ini adalah gambaran (salinan) dari alam logos atau dari alam nonmateri.[1]

Kritik terhadap Neoplatonisme

[sunting | sunting sumber]

Pada abad ke-9, Abu Haran a Ash’ari, seorang teolog Irak, menjelaskan argumen bahwa alam semesta ini diatur oleh pengaturan langsung oleh Penyebab Awal atau Tuhan, seluruh kejadian-kejadian - dari yang paling kecil hingga yang paling besar - adalah menurut penciptaan-Nya, sepanjang waktu, Tuhan berada dalam kesibukan-Nya.[5]

Pendapat ini juga didukung oleh filsuf Irak abad ke-11 lain yang terkenal, Abu Hamid Muhammad ibnu Muhammad al Ghazali. Dalam bukunya, Tahaafut al Falaasifah, yang dalam terjemahan Inggris berjudul The Inconherence of the Philosophers, Al Ghazali menyampaikan kritik pada filsafat Neoplatonisme yang mempengaruhi pemikiran Timur Tengah lainnya, seperti Al-Farabi dan Ibn Sina.[5] untuk menjawab pendapat para filsuf bahwa kejadian alam semesta ini akibat perbuatan ciptaan-Nya (termasuk hukum-hukumnya), Al-Ghazali menyatakan bahwa hal yang tampak sebagai kejadian yang teratur secara sebab-akibat sebenarnya tidak lepas dari perbuatan Tuhan secara terus-menerus.[5] jadi, tidak ada kejadian yang bebas (independent) dari perbuatan Tuhan. Posisi Tuhan tetap transeden, dengan kehendak yang dapat berubah sewaktu-waktu tergantung kehendak-Nya dan kehendak-Nya pasti terjadi, seperti yang terjadi pada kejadian yang dilami oleh para Nabi (mukjizat).[5]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u Sholikhin, KH. Muhammad (2008). Filsafat dan Metafisika dalam Islam: Sebuah Penjelajahan Nalar, Pengalaman Mistik, dan Perjalanan Aliran Manunggaling Kawula Gusti. Jogjakarta: Penerbit Narasi. hlm. 161–168. ISBN 979-168-100-7. 
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u Drajat, Dr. M.A, Amroeni (2005). Suhrawadi: Kritik Falsafah Peripatetik. Jogjakarta: LKiS. hlm. 104–108. ISBN 979-845-119-8.  Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "suhrawadi" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  3. ^ a b c d e f g Bertens, Prof., K. (1975). Ringkasan Sejarah Filsafat. Jogjakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 18-19. ISBN 979-413-083-4. 
  4. ^ a b c d Smith, Linda (2000). Ide-ide Filsafat dan Agama: Dulu dan Sekarang. Jogjakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 24. ISBN 979-672-745-5. 
  5. ^ a b c d Yuana, Kumara Ari (2010). The Greatest Philosophers: 100 Tokoh Filsuf Barat dari Abad 6 SM-Abad 21 yang Menginspirasi Dunia Bisnis. Jogjakarta: Penerbit Andi. hlm. 158. ISBN 978-979-291-370-5.