Lompat ke isi

Ingatan semu

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Ingatan semu atau Ingatan palsu adalah fenomena psikologi munculnya ingatan yang berbeda dari kejadian nyata atau tidak pernah terjadi. Penyebab ingatan palsu adalah penerimaan sugesti, hoaks, atau kesalahan atribusi informasi.[1][2]

Penelitian Awal

[sunting | sunting sumber]
Elizabeth Loftus menghadiri acara The Amaz!ng Meeting 9, yang diselenggarakan di Las Vegas, NV, pada bulan Juli 2011.

Alred Binet adalah salah satu psikolog pertama yang mempelajari ingatan palsu. Dia menolak teori yang dikeluarkan klinik neurologis tempat dia bekerja yang menggunakan hinopsis untuk menangani histeria.[3][4] Dia melakukan penelitian pada tahun 1900 dan menyimpulkan bahwa ingatan anak kecil rentan terhadap bias, lebih-lebih saat berada dalam grup. Selanjutnya, bahasa dan penyampaian seorang pewawancara dapat memengaruhi ingatan dan sekali respon keliru terhadap ingatan terjadi, hal itu akan menjadi ingatan sejati.[5]

Beberapa penelitian awal lainnya adalah pembentukan ingatan pada anak-anak oleh Jean Piaget dan ingatan orang dewasa terhadap bacaan oleh Frederic Bartlett.[6] Pendiri aliran psikoanalisis, Sigmund Freud mencetuskan konsep alam bawah sadar. Sigmund Freud meletakkan dasar untuk praktik konseling dan terapi modern yang banyak digunakan di seluruh dunia.[7] Dia juga mengamati gejala ingatan palsu terhadap korban pelecehan seksual.[8] Penelitian terstruktur tentang ingatan palsu baru dilakukan oleh Elizabeth Loftus dan John Palmer pada tahun 1974. Penelitian mereka dilakukan dalam dua percobaan dan menghasilkan beberapa teori mengenai ingatan palsu.[9]

Manipulasi bahasa

[sunting | sunting sumber]

Kata sandang

[sunting | sunting sumber]

Seorang saksi mata dapat melaporkan sesuatu yang dia pikir telah saksikan padahal tidak. Penggunaan kata sandang tertentu (dalam bahasa Inggris) adalah salah satu faktor yang memengaruhi ingatan setelah adanya jeda antara kesaksian dengan pelaporan. Kemungkinan seorang saksi mata melaporkan melihat sebuah benda yang sebetulnya tidak dia lihat ketika ditanyakan dengan menggunakan kata sandang 'a' (misalnya a stop sign) lebih kecil dibandingkan dengan jika ditanyai dengan menggunakan kata sandang 'the'. Alasannya yaitu kata sandang 'the' cenderung digunakan pada benda yang akrab di telinga saksi mata. Sementara itu, asumsi tersebut tidak muncul pada kata sandang 'a/an'. Teori ini muncul lewat sebuah penelitian psikologis oleh Elizabeth Loftus.[10]

Daftar kata dan kalimat

[sunting | sunting sumber]

Pemunculan daftar kata terus menerus kepada seseorang akan memicu ingatan palsu. Seseorang akan cenderung merasa telah mendengar atau membaca kata yang berhubungan arti dengan kata-kata yang dia temui sebelumnya. Hal yang sama juga terjadi pada pengulangan kalimat.[11]

Bias Pikiran

[sunting | sunting sumber]

Praanggapan

[sunting | sunting sumber]

Praanggapan merupakan andaian pembicara bahwa pendengarnya dapat mengenal pasti orang atau benda yang disebutkan sehingga saat suatu kalimat diucapkan, beserta pula makna tersirat.[12]

Konstruksi hipotesis

[sunting | sunting sumber]

Konstruksi hipotesis terjadi lewat pemberian informasi tambahan kepada seseorang setelah meyaksikan suatu kejadian. Setelah beberapa saat, orang tersebut cenderung berpikir informasi tambahan tersebut telah dia saksikan sendiri. Penelitian oleh Loftus dan Palmer membuktikan hal ini. Beberapa subjek diarahkan untuk menonoton adegan kecelakaan. Beberapa di antaranya ditanyai tentang kecepatan mobil ketika saling menabrak, sedangkan pada subjek lain, kata "tabrak" dalam pertanyaan diganti dengan "hancur." Pada percobaan ulang 1 minggu kemudian, mereka yang ditanyai dengan kata “hancur” cenderung bersaksi mereka telah melihat pecahan kaca di tempat kejadian dibandingkan subjek yang sebelumnya ditanyai "tabrak", meskipun sebenarnya tidak ada pecahan kaca dalam adegan yeng mereka tonton. Dalam percobaan ini, informasi tambahan dimunculkan melalui asumsi di pertanyaan, teknik yang efektif dalam memperkenalkan informasi tanpa meminta perhatian subjek.[13]

Teori kerangka

[sunting | sunting sumber]
Daerah otak pembentuk ingatan

Teori kerangka membagi cara mengingat suatu memori ke dalam dua proses. Proses pertama adalah proses akuisisi. Informasi yang dapat difokuskan oleh seseorang dibandingkan dengan informasi keseluruhan sangat kecil. Persepsi visual yang diterjemahkan ke dalam pernyataan dan deskripsi merepresentasikan kumpulan konsep dan objek lalu mengalami interpretasi. Kumpulan informasi ini selanjutnya dapat mengubah ingatan. Proses kedua yaitu retrieval. Awalnya, memori dan pencitraan dibuat ulang. Persepsi ini tergantung pada fokus objek yang telah dipilih oleh seseorang bersama dengan informasi yang diberikan sebelum atau setelah pengamatan. Selanjutnya, dilakukan pengambilan laporan visual untuk memahami apa yang diamati. Proses retrieval ini dapat menghasilkan ingatan yang akurat atau justru ingatan palsu.[13]

Fuzzy trace theory

[sunting | sunting sumber]

Istilah fuzzy trace theory pertama kali diperkenalkan oleh ilmuwan Charles Brainerd dan Valerie Reyna.[14]

Saat seseorang mencoba mengingat peristiwa masa lalu, sering terjadi dua kesalahan. Yang pertama adalah lupa, sementara kesalahan kedua adalah ingatan palsu. Ingatan palsu dapat dipisahkan menjadi ingatan palsu spontan dan implan. Ingatan palsu spontan dihasilkan dari proses internal seperti pemrosesan makna oleh otak sementara ingatan palsu implan berasal dari luar seperti pertanyaan yang menyesatkan. Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak lebih rentan terhadap informasi palsu daripada orang dewasa tetapi lebih kecil kemungkinannya untuk membentuk ingatan palsu daripada orang dewasa.[15][16] Menurut FTT, ingatan palsu lebih stabil daripada ingatan sejati karena ingatan palsu didukung oleh jejak ingatan yang kurang rentan terhadap gangguan dan lupa.[17]

Beberapa terapis menggunakan teknik hinopsis untuk menanam ingatan palsu kepada pasien. Banyak korban yang ingin memunculkan ingatan jelas terhadap perlakuan kejahatan yang mereka terima, terlebih kekerasan seksual untuk bersaksi di pengadilan.[18] Metode ini dapat memicu pemunculan ingatan terhadap peristiwa yang sebetulnya tidak ada atau ingatan yang tidak akurat. Sebagai contoh, seorang terapis mencoba memunculkan ingatan seorang anak terhadap pelecehan yang dialaminya. Setelah "diagnosis" ini dibuat, terapis terkadang mendesak pasien untuk memunculkan ingatan palsu sehingga dapat menjadi masalah sosial[19] dan bahkan hukum, seperti klaim berlebihan pelecehan seksual oleh korban setelah dia menjalani terapi ingatan palsu seperti yang terjadi di Washington pada tahun 1980-an.[20]

Kasus Hukum

[sunting | sunting sumber]

Banyak korban yang menjalani terapi ingatan palsu dalam kasus hukum. Ingatan palsu ini dihasilkan agar pasien terapi mampu menceritakan kesaksiannya. Dalam sebuah kasus, dua terapis keliru menanamkan ingatan palsu dibantu obat hipnotik terhadap pasien mereka, Holly Ramona, bahwa dia telah mengalami pelecehan seksual oleh ayahnya, Gary Ramona. Hakim memutuskan Gary bersalah terhadap Holly Ramona. Pada tahun 1994, masalah hukum ini kemudian diungkit ulang atas banding Gary terhadap psikiater anaknya. Dia menang namun anak dan istrinya memilih tetap percaya pada psikiater.[21][22] Kasus lainnya terjadi pada Joseph Pacely yang dituduh masuk ke rumah seorang wanita untuk melecehkannya pada tahun 1984. Selama pengadilan, Elizabeth Loftus mengungkapkan bahwa ingatan palsu dan emosi si wanita telah turut berperan dalam pengajuan laporan.[23]

Anak-anak

[sunting | sunting sumber]

Seorang anak korban trauma, terlebih akibat pelecehan seksual sering kali mengalami ingatan palsu.[24] Pemaksaan terhadap mereka untuk mengingat kembali kejadian tersebut menjadikan tekanan terhadap ingatan sang anak besar. Beberapa ahli berhipotesis bahwa ketika anak itu terus-menerus mencoba mengingat suatu kejadian, mereka berpotensi membangun ingatan palsu.[25] Banyak peneliti juga mengungkapkan bahwa seorang anak tidak dapat menjadi saksi mata yang baik karena dapat keliru membedakan khayalan dan kenyataan, terlebih menumbuhkan ingatan palsu.[1]

Kasus Umum

[sunting | sunting sumber]

Fenomena ingatan palsu massal pertama kali muncul pada tahun 2010 ketika banyak orang di internet berpikir bahwa Nelson Mandela telah meninggal di penjara selama tahun 1980-an. Kenyataannya, Mandela bebas pada tahun 1990 dan baru meninggal pada tahun 2013. Seorang paranormal, Fiona Broome, menciptakan istilah "Efek Mandela" untuk menjelaskan kesalahan ingatan kolektif ini. Broome membuat sebuah situs web untuk berspekulasi tentang adanya realitas alternatif sebagai penjelasan untuk ingatan palsu massal tersebut.[26] Tak lama kemudian, kasus lain mulai bermunculan di internet.[27] Film dan novel oleh Anne Rice berjudul Interview with a Vampire berubah menjadi Interview with the Vampire, judul serial televisi Sex in the City berubah menjadi Sex and the City, judul serial kartun Looney Toons dieja Looney Tunes dan serial tv Johnny Quest banyak dieja Jonny Quest.[28]

"Manusia Tank" yang menghadang barisan tank di Lapangan Tiannaman

Tidak sedikit pula kisah sejarah yang menjadi korban ingatan palsu. Banyak orang percaya jika “Tank Man” yang menghadang barisan tank pada 4 Juni 1989 di Lapangan Tiananmen terbunuh padahal sebenarnya tidak. Kasus lainnya, banyak orang mengira Presiden AS John Kennedy menumpang mobil empat kursi di hari dia dibunuh pada tahun 1963. Sebenarnya ada enam kursi dan enam orang juga terlihat dalam rekaman video dan foto. Adolf Hitler juga banyak digambarkan bermata biru meskipun sebenarnya matanya berwarna cokelat.[28]

Pandangan Publik

[sunting | sunting sumber]

Pandangan masyarakat terhadap implan ingatan palsu melalui terapi beragam. Sebuah studi pada tahun 2016 menunjukkan bahwa rata-rata jawaban responden berada pada skala tengah, yang berarti jumlah responden yang setuju dengan implan sebanding dengan yang tidak. Lebih lanjut, studi ini menyoroti berbagai reaksi terhadap implan ingatan palsu. Orang-orang yang menolak beranggapan bahwa implan ingatan palsu adalah hal yang mengerikan, menyeramkan, dan penghinaan terhadap kebebasan individu untuk mengendalikan hidup mereka sendiri. Mereka memprediksi beragam efek samping implan dan membayangkan bahwa implan dapat disalahgunakan. Sebaliknya, responden yang setuju percaya bahwa implan ingatan palsu lebih baik daripada tindakan medis. Mereka merasa bahwa potensi kerugian yang ditimbulkan oleh implan ini akan minimal dibandingkan dengan manfaat yang mungkin dihasilkan.[29] Pada sebuah penelitian lain, 41% responden menolak terapis menanamkan ingatan palsu agar mereka dapat mengubah gaya makan yang tidak sehat sementara 48% menerima, dan sisanya tidak menjawab.[30]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b Khairudin, Rozainee; Rizyanti, Charyna Ayu (2010-06-01). "Ingatan palsu dalam kalangan kanak-kanak pra sekolah: Satu bukti kewujudan ingatan palsu daripada eksperimen ingatan (False Memory Among Pre-School Children: Evidence Of The Existence Of False Memory From Memory Experiment)". JURNAL PSIKOLOGI MALAYSIA (dalam bahasa Melayu). 24 (0). ISSN 2289-8174. 
  2. ^ "Seven Sins Of Memory" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-02-28. 
  3. ^ Brainerd 2005, hlm. 8"(…), are his investigations of false-memory phenomena. This work was a career-long occupation growing out of his training as a lawyer and his early experiences in Jean Charcot's neurological clinic."
  4. ^ Brainerd 2005, hlm. 8b"Binet became a strong opponent of this theory, but he was much criticized for failing to consider the suggestive nature of hypnosis."
  5. ^ Brainerd 2005, hlm. 11"On the basis of his findings, Binet (1900) offered four conclusions about false-memory reports that are still significant today."
  6. ^ Brainerd 2005, hlm. 6"(…), Bartlett Jean Piaget's studies of constructive memory in children, and F. C. Bartlett's (1932) studies of repeated recall of narrative text by adults."
  7. ^ "False Memories and the Psychology Behind Them". MONQ (dalam bahasa Inggris). 2019-01-03. Diakses tanggal 2020-02-29. 
  8. ^ Esterson, Allen (2003). "Freud's Theories of Repression and Memory". The Scientific Review of Mental Health Practice. 2 (2). 
  9. ^ Loftus, Elizabeth F.; Palmer, John C. (1974-10-01). "Reconstruction of automobile destruction: An example of the interaction between language and memory". Journal of Verbal Learning and Verbal Behavior (dalam bahasa Inggris). 13 (5): 585–589. doi:10.1016/S0022-5371(74)80011-3. ISSN 0022-5371. 
  10. ^ Loftus, Elizabeth F. (1975). "RECONSTRUCTING MEMORY: THE INCREDIBLE EYEWITNESS". Jurimetrics Journal. 15 (3): 188–193. ISSN 0022-6793. 
  11. ^ Lampinen, James M.; Neuschatz, Jeffrey S.; Payne, David G. (1997-09-01). "Memory illusions and consciousness: Examining the phenomenology of true and false memories". Current Psychology (dalam bahasa Inggris). 16 (3): 181–224. doi:10.1007/s12144-997-1000-5. ISSN 1936-4733. 
  12. ^ Riyanti, Indah (2015). "PRAANGGAPAN DAN IMPLIKATUR DALAM PEMBELAJARAN BAHASA UNTUK MEMBENTUK PEMIKIRAN KRITIS IDEOLOGIS PEMUDA INDONESIA: SEBUAH PENDEKATAN PRAGMATIK". Jurnal UNS. 
  13. ^ a b Loftus, Elizabeth F (1975-10). "Leading questions and the eyewitness report". Cognitive Psychology (dalam bahasa Inggris). 7 (4): 560–572. doi:10.1016/0010-0285(75)90023-7. 
  14. ^ Dodgson, Lindsay. "Our brains sometimes create 'false memories' — but science suggests we could be better off this way". Business Insider. Diakses tanggal 2020-02-28. 
  15. ^ Brainerd, C. J.; Reyna, V. F. (2004-12-01). "Fuzzy-trace theory and memory development". Developmental Review. Memory development in the new millennium (dalam bahasa Inggris). 24 (4): 396–439. doi:10.1016/j.dr.2004.08.005. ISSN 0273-2297. 
  16. ^ Brainerd, C. J.; Reyna, V. F.; Forrest, T. J. (2002). "Are Young Children Susceptible to the False–Memory Illusion?". Child Development (dalam bahasa Inggris). 73 (5): 1363–1377. doi:10.1111/1467-8624.00477. ISSN 1467-8624. 
  17. ^ Brainerd, C. J.; Reyna, V. F. (2016-06-23). "Fuzzy-Trace Theory and False Memory:". Current Directions in Psychological Science (dalam bahasa Inggris). doi:10.1111/1467-8721.00192. ISSN 1467-8721. 
  18. ^ Mertz, Elizabeth; Bowman, Cynthia (1998). "The Clinical Corner: Third-Party Liability in Repressed Memory Cases: Recent Legal Developments". PsycEXTRA Dataset (dalam bahasa Inggris). doi:10.1037/e300392004-003. Diakses tanggal 2020-02-29. 
  19. ^ Loftus, Elizabeth F. (1993). "The reality of repressed memories". American Psychologist (dalam bahasa Inggris). 48 (5): 518–537. doi:10.1037/0003-066X.48.5.518. ISSN 1935-990X. 
  20. ^ Smith, Colette (1994-01-01). "Recovered Memories of Alleged Sexual Abuse: An Analysis of the Theory of Repressed Memories Under the Washington Rules of Evidence". Seattle University Law Review. 18 (1): 51. 
  21. ^ Slovenko 2009, hlm. 842"In Ramona, the therapists operated on the basis of unsupported theories, and they urged the patients to blame someone else for their problems."
  22. ^ "Father Wins Suit in 'False Memory' Case". Los Angeles Times (dalam bahasa Inggris). 1994-05-14. Diakses tanggal 2020-02-29. 
  23. ^ Bryce, Emma (2017-07-22). "False memories and false confessions: the psychology of imagined crimes". Wired UK. ISSN 1357-0978. Diakses tanggal 2020-02-29. 
  24. ^ Carey, Benedict; Hoffman, Jan (2018-09-25). "They Say Sexual Assault, Kavanaugh Says It Never Happened: Sifting Truth From Memory". The New York Times (dalam bahasa Inggris). ISSN 0362-4331. Diakses tanggal 2020-02-29. 
  25. ^ Ceci, Stephen J.; Loftus, Elizabeth F.; Leichtman, Michelle D.; Bruck, Maggie (1994-10). "The Possible Role of Source Misattributions in the Creation of False Beliefs Among Preschoolers". International Journal of Clinical and Experimental Hypnosis. 42 (4): 304–320. doi:10.1080/00207149408409361. ISSN 0020-7144. 
  26. ^ "About". Mandela Effect (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-02-29. [pranala nonaktif permanen]
  27. ^ "Two cognitive psychologists explain the mystery of the 'Mandela effect'". The Independent (dalam bahasa Inggris). 2018-02-14. Diakses tanggal 2020-02-29. 
  28. ^ a b French, Aaron (2018). "The Mandela Effect and New Memory". Correspondences. 6 (2): 201–233. ISSN 2053-7158. 
  29. ^ Nash, Robert A.; Berkowitz, Shari R.; Roche, Simon (2016). "Public Attitudes on the Ethics of Deceptively Planting False Memories to Motivate Healthy Behavior". Applied Cognitive Psychology. 30 (6): 885–897. doi:10.1002/acp.3274. ISSN 0888-4080. PMC 5215583alt=Dapat diakses gratis. PMID 28111495. 
  30. ^ Nash, Robert. "Would it be ethical to implant false memories in therapy?". www.bbc.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-03-02. 

Daftar Pustaka

[sunting | sunting sumber]