Lompat ke isi

Periode Helenistik

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Periode Hellenistik)
Periode[pranala nonaktif permanen] Helenistik. Patung Dionisus dari Koleksi Seni Kuno di Yale.

Periode Helenistik atau era Helenistik adalah masa yang berlangsung setelah penaklukan Aleksander Agung. Istilah ini dikemukakan oleh sejarawan J. G. Droysen. Pada masa ini, pengaruh budaya dan kekuasaan Yunani mencapai pada puncaknya di Eropa dan Asia. Masa ini kadang disebut masa transisi, atau bahkan disebut masa kemunduran,[1] antara Zaman Klasik yang brilian dan kebangkitan Kekaisaran Romawi. Periode ini dimulai setelah kematian Aleksander pada tahun 323 SM dan berakhir ketika Republik Romawi menaklukan daratan Yunani pada tahun 146 SM; atau ketika negara penerus Aleksander yang terakhir mengalami kejatuhan, yaitu Kerajaan Ptolemaik di Mesir pada tahun 31/30 SM, dalam Pertempuran Actium.[2] Periode Helenistik dicirikan dengan adanya gelombang baru koloni-koloni yang didirikan oleh kota-kota dan kerajaan-kerajaan Yunani di Asia dan Afrika.[3]

Etimologi

[sunting | sunting sumber]

Kata Helenistik berasal dari istilah Jerman hellenistisch, dari Yunani Kuno Ἑλληνιστής ( Hellēnistḗs, orang yang menggunakan bahasa Yunani), dan Ἑλλάς (Hellás, "Yunani"). Helenistik adalah kata modern dan konsep abad ke-19; gagasan tentang periode Helenistik tidak ada di era Yunani Kuno. Meskipun ada beberapa kata yang berkaitan dengan istilah tersebut, seperti Hellenist (bahasa Yunani Kuno: Ἑλληνιστής, Hellēnistēs) telah dibuktikan sejak zaman kuno,[4] pada pertengahan abad ke-19, dalam buku Geschichte des Hellenismus (sejarah Helenisme), J.G Droysen mengemukakan istilah Helenistik untuk merujuk dan mendefinisikan periode ketika budaya Yunani menyebar di dunia non-Yunani setelah penaklukan Aleksander.[5] Mengikuti Droysen, istilah Helenistik dan isitlah lainnya, misalnya Hellenisme, telah banyak digunakan dalam berbagai konteks; penggunaannya yang terkenal adalah dalam Culture and Anarchy oleh Matthew Arnold, di mana istilah Hellenisme digunakan berbeda dengan Hebraisme.[6]

Masalah utama dengan istilah Helenistik terletak pada kecocokannya, karena penyebaran budaya Yunani bukanlah fenomena umum yang disiratkan oleh istilah tersebut. Beberapa wilayah di dunia yang ditaklukkan lebih dipengaruhi oleh pengaruh Yunani daripada yang lain. Istilah Helenistik juga menjelaskan semata-mata bahwa bangsa Yunani menjadi mayoritas di daerah mereka tinggal, tetapi dalam banyak kasus, pemukim Yunani sebenarnya adalah minoritas di antara penduduk asli. Populasi Yunani tidak selalu bercampur dengan penduduk asli; orang-orang Yunani cenderung bergerak dan membawa budayanya sendiri, tetapi interaksi tidak selalu terjadi.

Sumber sejarah

[sunting | sunting sumber]

Meskipun awalnya terdapat beberapa fragmen, tidak ada bentuk sejarah lengkap yang bertahan hingga ratusan tahun setelah kematian Aleksander. Karya-karya sejarawan Helenistik Hieronimos dari Kardia (yang bekerja di bawah pimpinan Aleksander, Antigonos I dan penerus lainnya), Duris dari Samos dan Filarkhos yang digunakan sebagai sumber yang masih tersisa dinyatakan hilang.[7] Sumber yang masih bertahan dan paling kredibel untuk periode Helenistik adalah Polibios dari Megalopolis, seorang negarawan dari Liga Akhaia hingga 168 SM ketika ia dipaksa pergi ke Roma sebagai sandera.[7] Catatan sejarahnya berjumlah 40 buku, yang mencakup tahun 220 hingga 167 SM. Sumbernya yang lain termasuk epitoma Yustinus dari catatan Pompeius Trogus, Historiae Philipicae dan ringkasan acara Arrian setelah Aleksander, oleh Photios I dari Konstantinopel. Sumber tambahan yang lebih sedikit termasuk Curtius Rufus, Pausanias, Pliny, dan ensiklopedia Bizantium Suda. Dalam bidang filsafat, Kehidupan dan Pendapat dari para filsuf Tersohor milik Diogenes Laërtius merupakan sumber utamanya; karya-karya seperti De Natura Deorum dari Cicero juga memberikan beberapa perincian lebih lanjut tentang sekolah-sekolah filsafat pada masa Helenistik.

Latar belakang

[sunting | sunting sumber]
Aleksander melawan raja Persia Darius III. Dari Mosaik Aleksander, Museum Arkeologi Nasional Naples

Yunani Kuno secara umum merupakan kumpulan negara kota yang merdeka. Setelah Perang Peloponnesos, Yunani telah jatuh di bawah hegemoni Sparta, yang mana Sparta lebih unggul tetapi tidak seluruhnya kuat. Hegemoni Sparta digantikan oleh hegemoni Thiva setelah Pertempuran Leuktra, tetapi setelah Pertempuran Mantineia, seluruh Yunani melemah sehingga tak ada satu negara pun yang bisa mengklaim kemenangannya. Dengan latar belakang inilah kekuasaan Makedonia bermula, di bawah raja Filipus II. Makedonia terletak di pinggiran wilayah Yunani. Meskipun keluarga kerajaannya mengklaim keturunan Yunani, Makedonia sendiri dipandang remeh sebagai semi-barbar oleh orang-orang Yunani lainya. Namun, Makedonia memiliki pemerintahan yang relatif kuat dan terpusat, dibandingkan dengan sebagian besar negara-negara Yunani, sehingga secara langsung mengendalikan wilayah yang luas.

Filipus II adalah raja yang kuat dan ekspansionis serta selalu mengambil setiap kesempatan untuk memperluas wilayah Makedonia. Pada tahun 352 SM ia menganeksasi Thessalia dan Magnesia. Tahun 338 SM, Filipus mengalahkan pasukan gabungan Thiva dan Athena pada Pertempuran Khaironeia setelah satu dekade konflik yang tak berujung. Setelah itu, Filipus membentuk Liga Korintus, yang secara efektif membawa mayoritas Yunani di bawah kekuasaannya secara langsung. Dia terpilih sebagai hegemon di liganya, serta merencanakan kampanye militer melawan Kekaisaran Persia Akhemeniyah. Namun, saat kampanye ini masih dalam tahap awal, ia dibunuh.[8]

Kekaisaran Aleksander pada masa ekspansi maksimumnya.

Menggantikan ayahnya, Aleksander mengambil alih perang Persia sendiri. Selama satu dekade berkampanye, Aleksander menaklukkan seluruh Kekaisaran Persia, menggulingkan raja Persia Darius III. Negeri-negeri yang ditaklukkan termasuk Asia Kecil, Asyur, Levant, Mesir, Mesopotamia, Media, Persia, dan bagian-bagian Afghanistan modern, Pakistan, dan stepa Asia Tengah. Kampanye militer yang dilakukannya terus-menerus membuahkan hasil, tetapi Aleksander meninggal pada tahun 323 SM. Setelah kematiannya, wilayah-wilayah besar yang ditaklukkan Aleksander menjadi sasaran pengaruh Yunani yang kuat (Helenisasi) selama dua atau tiga abad berikutnya, sampai kebangkitan Roma di barat, dan Partia di timur. Ketika budaya Yunani dan Levant berbaur, pengembangan budaya Helenistik campuran dimulai, dan bertahan bahkan ketika diisolasi dari pusat-pusat utama budaya Yunani (misalnya, di kerajaan Yunani-Baktria). Dapat dikatakan bahwa beberapa perubahan di Kekaisaran Makedonia setelah penaklukan Aleksander dan selama pemerintahan Diadokhoi bisa terjadi tanpa pengaruh pemerintahan Yunani. Seperti yang disebutkan oleh Peter Green, banyak faktor penaklukan telah digabungkan pada istilah Periode Helenistik. Daerah-daerah tertentu yang ditaklukkan oleh pasukan penyerang Aleksander, termasuk Mesir dan wilayah-wilayah Asia Kecil dan Mesopotamia "jatuh" dengan sukarela untuk ditaklukan dan memandang Aleksander lebih sebagai pembebas daripada penakluk.[9]

Diadokhoi

[sunting | sunting sumber]
Persebaran satrap di Kekaisaran Makedonia setelah Pemukiman di Babel.

Ketika Aleksander Agung meninggal pada 10 Juni 323 SM, ia meninggalkan sebuah kerajaan besar yang terdiri dari wilayah-wilayah, yang memiliki dasar otonom sebagaimana yang disebut satrap. Tanpa adanya pengganti yang dipilih, perselisihan timbul di antara jenderalnya terkait siapa yang harus menjadi raja Makedonia. Para jenderal ini kemudian dikenal sebagai Diadokhoi (bahasa Yunani: Διάδοχοι, yang berarti "Penerus").

Meleagros dan infantrinya mendukung pencalonan saudara tiri Aleksander, Filipus Arrhidaios, sementara Perdikas, komandan kavaleri terkenal, mendukung untuk menunggu kelahiran anak Aleksander dari Roxana. Setelah infantri menyerbu istana Babel, sebuah perjanjian diatur, yang berisi bahwa Arrhidaios (sebagai Filipus III) harus menjadi raja dan memerintah bersama dengan anak Roxana, menganggap bahwa anaknya itu laki-laki (seolah-olah menjadi Aleksander IV). Perdikas sendiri akan menjadi bupati (epimelet) dari kekaisaran, dengan Meleager sebagai letnannya. Namun, dengan segera, Perdikas membunuh Meleager dan para pemimpin infanteri lainnya, dan mengambil kendali penuh.[10] Para jenderal yang telah mendukung Perdikas dihargai pada partisi Babel dengan menjadi satrap di berbagai bagian kekaisaran, tetapi posisi Perdikas goyah, karena, seperti yang ditulis Arrianos, "semua orang curiga kepadanya, dan dia dari mereka".[11]

Perang Diadokhoi yang pertama pecah saat Perdikas berencana untuk menikahi saudara perempuan Aleksander, Kleopatra, dan mulai mempertanyakan kepemimpinan Antigonos I Monophthalmus di Asia Kecil. Antigonos melarikan diri ke Yunani, dan kemudian, bersama-sama dengan Antipatros dan Krateros (satrap Kilikia yang berada di Yunani berperang pada perang Lamian) menyerbu Anatolia. Para pemberontak didukung oleh satrap Trakia Lysimakhos, dan satrap Mesir Ptolemaeus. Meskipun Eumenes, satrap dari Kapadokia, mengalahkan para pemberontak di Asia Kecil, Perdikas dibunuh oleh jendralnya sendiri, Peithon, Seleukos, dan Antigenes (mungkin dengan bantuan Ptolemaeus) selama invasi ke Mesir ( ca 21 Mei hingga 19 Juni, 320 SM).[12] Ptolemaeus sepakat dengan para pembunuh Perdikas, menjadikan Peithon dan Arrhidaios sebagai bupati di tempatnya, tetapi tak lama kemudian mereka mencapai kesepakatan baru dengan Antipatros pada Perjanjian Triparadeisos, Antipatros diangkat menjadi bupati kekaisaran, dan kedua raja dipindahkan ke Makedonia. Antigonos tetap memimpin Asia Kecil, Ptolemaeus mempertahankan Mesir, Lysimakhos mempertahankan Trakia dan Seleukos I menguasai Babilon.

Perang Diadokhoi kedua dimulai setelah kematian Antipatros pada tahun 319 SM. Mengabaikan putranya sendiri, Kassandros, Antipatros telah menyatakan Poliperkones sebagai penggantinya sebagai bupati. Kassandros bangkit memberontak melawan Poliperkones (yang bergabung dengan Eumenes) dan didukung oleh Antigonos, Lysimakhos dan Ptolemaeus. Pada tahun 317 SM Kassandros menyerbu Makedonia, mendapatkan kendali atas Makedonia, menjatuhkan hukuman mati kepada Olympias dan menangkap raja muda Aleksander IV dan ibunya. Di Asia, Eumenes dikhianati oleh pasukannya sendiri setelah bertahun-tahun melakukan kampanye militernya dan diserahkan kepada Antigonos yang membuatnya dieksekusi.

Kerajaan[pranala nonaktif permanen] Antigonos dan para pesaingnya ca 303 SM

Perang Diadokhoi kembali pecah ketiga kalinya karena meningkatnya kekuatan dan ambisi Antigonos. Dia mulai melepas dan menetapkan satrap seolah-olah dia adalah raja dan juga merampok harta kerajaan di Ekbatana, Persepolis dan Susa, lalu dibawa kabur sebanyak 25.000 talenta.[13] Seleukos terpaksa mengungsi ke Mesir dan Antigonos segera berperang dengan Ptolemaeus, Lysimakhos, dan Kassandros. Kemudian ia menyerbu Fenisia, mengepung Tirus, menyerbu Gaza dan mulai membangun armada. Ptolemaeus menyerbu Suriah dan mengalahkan putra Antigonos, Demetrius Poliorketes, dalam Pertempuran Gaza tahun 312 SM yang memungkinkan Seleukos untuk mengamankan kendali di Babel, dan satrap-satrap di timur. Pada tahun 310 SM, Kassandros membunuh Raja Muda Aleksander IV dan ibunya, Roxana, sebagai tanda berakhirnya Dinasti Argeadai yang telah memerintah Makedonia selama beberapa abad.

Antigonus kemudian mengirim putranya Demetrios untuk mendapatkan kembali kendali atas Yunani. Tahun 307 SM ia mengambil alih Athena, mengusir Demetrios dari Phaleron, gubernur Kassandros, dan memproklamirkan kota itu kembali. Lalu, Demetrius mengalihkan perhatiannya pada Ptolemaeus, mengalahkan armadanya di Pertempuran Salamis dan mengambil kendali Siprus. Setelah kemenangannya, Antigonos mengambil gelar raja (basileus) dan menganugerahkannya kepada putranya Demetrius Poliorcetes, sisa dari Diadokhoi segera mengikuti jejaknya.[14] Demetrius melanjutkan kampanyenya dengan mengepung Rodos dan menaklukkan sebagian besar Yunani pada tahun 302 SM, serta menciptakan liga untuk melawan Makedon milik Kassandros.

Konfrontasi terjadi ketika Lysimakhos menyerbu dan menguasai sebagian besar Anatolia barat, tetapi segera diisolasi oleh Antigonos dan Demetrius didekat Ipsus, Frigia. Seleukos tiba pada waktunya untuk menyelamatkan Lysimakhos dan menghancurkan Antigonos pada Pertempuran Ipsus pada tahun 301 SM. Gajah perang Seleukos menang telak, Antigonos terbunuh, dan Demetrius melarikan diri kembali ke Yunani untuk mencoba memulihkan sisa-sisa pemerintahannya di sana dengan merebut kembali Athena yang memberontak. Sementara itu, Lysimakhos mengambil alih Ionia, Seleukos mengambil Kilikia, dan Ptolemaeus merebut Siprus.

Kerajaan Diadokhoi setelah pertempuran Ipsus, ca 301 SM.
  Kerajaan Ptolemaios I Soter
  Kerajaan Kassandros
  Kerajaan Lysimakhos
  Kerajaan Seleukos I Nikator
Daerah-daerah lainnya

Setelah kematian Kassandros pada ca 298 SM, Demetrius yang masih mempertahankan pasukan dan armada loyal, menginvasi Makedonia, merebut tahta Makedonia (294 SM) dan menaklukkan Thessalia dan sebagian besar wilayah Yunani tengah (293–291 SM).[15] Ia dikalahkan pada 288 SM ketika Lysimakhos dari Trakia dan Pyrrhos dari Epiros menginvasi Makedonia dengan dua barisan, dan dengan cepat mengukir kerajaan untuk diri mereka sendiri. Demetrius melarikan diri ke Yunani tengah dengan tentara bayarannya dan mulai membangun dukungan di sana dan di Peloponnesos utara. Dia sekali lagi mengepung Athena setelah mereka berpaling darinya, tetapi kemudian membuat perjanjian dengan Athena dan Ptolemaeus, yang memungkinkannya menyeberang ke Asia Kecil dan berperang melawan kepemilikan Lysimakhos di Ionia, meninggalkan putranya Antigonos Gonatas di Yunani. Setelah sukses di awal, ia terpaksa menyerah kepada Seleukos pada 285 SM dan kemudian mati di penjara.[16] Lysimakhos, yang telah merebut Makedonia dan Thessalia untuk dirinya sendiri, terpaksa berperang ketika Seleukos menyerbu wilayahnya di Asia Kecil dan dikalahkan dan dibunuh pada tahun 281 SM di Pertempuran Kurupedion, dekat Sardis. Seleukos kemudian berusaha menaklukkan wilayah Eropa milik Lysimakhos di Trakia dan Makedon, tetapi ia dibunuh oleh Ptolemaios Keraunos ("sang petir"), yang berlindung di pengadilan Seleukia dan kemudian mengakui dirinya sebagai raja Makedonia. Ptolemaios terbunuh ketika Makedonia diserang oleh Galia pada tahun 279 SM, dengan keadaan kepalanya menancap di tombak, serta negaranya jatuh ke dalam anarki. Antigonos II Gonatas menginvasi Trakia pada musim panas tahun 277 SM dan mengalahkan kekuatan besar 18.000 orang Galia. Seketika, ia pun dielu-elukan sebagai raja Makedonia dan terus memerintah selama 35 tahun.[17]

Pada titik ini pembagian wilayah tripartit pada zaman Helenistik berada pada tempatnya, dengan kekuatan Helenistik yang utama yaitu Makedonia di bawah Antigonos II Gonatas, Ptolemaik di bawah pimpinan Ptolemaios I dan Seleukia di bawah kendali Antiokhos I Soter.

Eropa Selatan

[sunting | sunting sumber]

Kerajaan Epiros

[sunting | sunting sumber]
Pyrrhos[pranala nonaktif permanen] dan gajahnya.

Epiros adalah kerajaan Yunani barat laut di Balkan barat yang diperintah oleh dinasti Molossia Aiakídai, yang juga berperan sebagai sekutu Makedonia selama masa pemerintahan Filipus II dan Aleksander. Pada tahun 281 SM, Pyrrhos (dijuluki aetos, 'elang') menyerbu Italia selatan untuk membantu negara kota Tarentum. Pyrrhos mengalahkan Romawi di Pertempuran Herakleia dan Pertempuran Asculum. Meskipun menang, ia terpaksa mundur karena mengalami kerugian besar, yang kemudian disebut sebagai 'kemenangan Piris'. Pyrrhos kemudian berbelok ke selatan dan menginvasi Sisilia tetapi tidak berhasil dan kembali ke Italia. Setelah berlangsungnya Pertempuran Beneventum (275 SM), Pyrrhos kehilangan seluruh wilayah Italianya dan pergi ke Epiros.

Kemudian, Pyrrhos berperang dengan Makedonia pada tahun 275 SM, menggulingkan kekuasan Antigonos II Gonatas dan secara singkat memerintah Makedonia dan Thessalia sampai 272 SM. Setelah itu ia menyerbu Yunani selatan, dan terbunuh dalam pertempuran melawan Argos pada 272 SM. Setelah kematian Pyrrhos, Epiros tetap menjadi kekuatan kecil. Pada tahun 233 SM, keluarga kerajaan Aiakídai digulingkan dan negara bagian federal dibentuk yang disebut Liga Epiros. Liga ini ditaklukkan oleh Roma dalam Perang Makedonia Ketiga.

Kerajaan Makedonia

[sunting | sunting sumber]

Antigonos II, seorang siswa Zeno dari Citium, menghabiskan sebagian besar kekuasaannya membela Makedonia melawan Epiros dan memperkuat kekuasaan Makedonia di Yunani, yang pertama melawan orang Athena dalam Perang Kremonides, kemudian melawan Liga Akhaia milik Aratos dari Sikyon. Di bawah Antigonoid, Makedonia sering kekurangan dana, tambang Pangaeum tak lagi produktif seperti saat kepemimpinan Filipus II, kekayaan dari kampanye Aleksander telah habis dan pedesaan dijarah oleh invasi Galia.[18] Sebagian besar populasi Makedonia juga telah dimukimkan kembali di luar negeri oleh Aleksander atau telah memilih untuk pindah ke kota-kota Yunani Timur yang baru. Hingga dua pertiga populasi beremigrasi, pasukan Makedonia hanya bisa mengandalkan pasukan berjumlah 25.000 orang, kekuatan yang jauh lebih kecil daripada ketika dipimpin oleh Filipus II.[19]

Antigonos II memerintah sampai kematiannya pada tahun 239 SM. Putranya Demetrius II meninggal pada 229 SM, meninggalkan anaknya (Filipus V) sebagai raja, dengan Jenderal Antigonos Doson sebagai bupati. Doson memimpin Makedonia menuju kemenangan dalam perang melawan raja Sparta Kleomenes III, dan menduduki Sparta. Filipus V, yang berkuasa setelah Doson meninggal pada 221   SM, merupakan penguasa Makedonia terakhir dengan bakat dan kesempatannya untuk menyatukan Yunani dan mempertahankan kemerdekaannya terhadap "awan yang naik di barat" yaitu kekuatan Roma yang terus meningkat. Dia dikenal sebagai "kesayangan Hellas". Di bawah naungannya, Perdamaian Naupaktus (217 SM) mengakhiri perang antara Makedonia dan liga Yunani (Perang Sosial), dan pada saat itu juga ia mengendalikan seluruh Yunani kecuali Athena, Rodos, dan Pergamum.

Pada tahun 215 SM, dengan pandangan Filipus pada Illiria, memicu pembentukan aliansi dengan musuh Roma, Hannibal dari Kartago, yang membawanya kepada aliansi Romawi dengan Liga Akhaia, Rodos dan Pergamum. Perang Makedonia Pertama pecah pada tahun 212 SM, dan berakhir secara tidak jelas pada tahun 205 SM. Filipus terus berperang melawan Pergamum dan Rodos untuk menguasai Aegea (204-200 SM) dan mengabaikan tuntutan Romawi untuk tidak melakukan intervensi di Yunani dengan menyerang Attika. Tahun 198 SM, ketika Perang Makedonia Kedua meletus, Filipus dikalahkan di Kinoskefala oleh prokonsul Romawi Titus Quinctius Flamininus dan Makedonia kehilangan semua wilayahnya di Yunani. Yunani Selatan pada saat itu benar-benar dibawa menuju lingkup pengaruh Romawi, meskipun tetap mempertahankan otonomi nominal. Akhir dari Makedonia Antigonid datang ketika putra Filipus V, Perseus, dikalahkan dan ditangkap oleh Romawi dalam Perang Makedonia Ketiga.

Sisa-sisa Yunani

[sunting | sunting sumber]
Yunani[pranala nonaktif permanen] dan Dunia Aegea ca 200 SM.

Selama periode Helenistik, peran Yunani di dunia berbahasa Yunani menurun tajam. Pusat-pusat besar budaya Helenistik adalah Aleksandria dan Antiokhia, ibukota Mesir Ptolemaik dan Suriah Seleukia. Penaklukan Aleksander sangat memperluas cakrawala dunia Yunani, memicu konflik yang tak ada habisnya antara kota-kota yang telah menandai abad ke-5 dan ke-4 SM tampak remeh dan tidak penting. Hal ini menyebabkan emigrasi yang stabil, menuju kekaisaran Yunani baru di timur. Banyak orang Yunani bermigrasi ke Aleksandria, Antiokhia, dan banyak kota Helenistik baru yang didirikan setelah Aleksander, hingga Afghanistan modern dan Pakistan.

Negara-negara kota yang telah merdeka tak dapat bersaing dengan kerajaan Helenistik dan biasanya dipaksa untuk bersekutu dengan salah satu dari mereka untuk pertahanan, memberikan penghargaan kepada para penguasa Helenistik dengan imbalan perlindungan. Salah satu contohnya adalah Athena, yang telah dikalahkan oleh Antipatros dalam perang Lamia (323–322 SM) dan pelabuhannya di Piraeus dikepung oleh pasukan Makedonia yang mendukung oligarki konservatif.[20] Setelah Demetrius Poliorcetes merebut Athena pada 307 SM dan memulihkan demokrasi, orang-orang Athena menghormatinya dan ayahnya, Antigonos dengan menempatkan patung-patung emas di agora dan memberi mereka gelar raja. Athena kemudian bersekutu dengan Mesir Ptolemaik untuk mengusir pemerintahan Makedonia, yang akhirnya mendirikan sebuah kultus agama untuk raja-raja Ptolemaik dan menamai salah satu phyle kota itu untuk menghormati Ptolemeus atas bantuannya melawan Makedonia. Terlepas dari uang Ptolemaik dan armada yang mendukung upaya mereka, Athena dan Sparta dikalahkan oleh Antigonos II selama Perang Kremonides. Athena kemudian diduduki oleh pasukan Makedonia, dan dijalankan oleh para pejabat Makedonia.

Sparta tetap merdeka, tetapi bukan lagi sebagai kekuatan militer terkemuka di Peloponnesos. Raja Sparta Kleomenes III melancarkan kudeta militer terhadap ephor konservatif dan mendorong melalui reformasi sosial dan pertanahan radikal untuk meningkatkan jumlah warga negara Sparta yang menyusut untuk memberikan layanan militer dan memulihkan kekuatan Sparta. Tawaran Sparta untuk supremasi dihancurkan di Pertempuran Sellasia oleh liga Akhaia dan Makedonia, yang memulihkan kekuatan ephor.

Negara kota lainnya membentuk negara-negara federasi untuk membela diri, seperti Liga Aitolia, Liga Akhaia, liga Boiotia, "Liga Utara" (Byzantium, Kalsedon, Heraklea Pontika, dan Tium) [21] dan Liga Nesiotik dari Kyklades. Federasi-federasi ini melibatkan pemerintah pusat yang mengendalikan kebijakan luar negeri dan urusan militer, kemudian meninggalkan sebagian besar pemerintahan lokal ke negara-negara kota, sebuah sistem yang disebut sympoliteia. Di negara-negara seperti liga Akhaia, hal ini juga melibatkan masuknya kelompok etnis lain ke dalam federasi dengan hak yang sama.[22] Liga Akhaia mampu mengusir Makedonia dari Peloponnesos dan membebaskan Korintus, yang seharusnya bergabung dengan liga.

[pranala nonaktif permanen]Kolosus di Rodos, salah satu dari tujuh keajaiban dunia kuno.

Sebagian kecil negara kota yang berhasil mempertahankan kemerdekaan penuh dari kendali kerajaan-kerajaan Helenistik adalah Rodos. Dengan angkatan laut yang terampil untuk melindungi armada dagangnya dari bajak laut dan posisi strategis yang ideal yang mencakup rute dari timur ke Laut Aegea, Rodos tumbuh makmur pada saat itu. Rodos menjadi pusat budaya dan perdagangan, koin-koinnya banyak beredar dan sekolah filosofisnya menjadi salah satu yang terbaik di Mediterania. Setelah bertahan selama satu tahun di bawah pengepungan oleh Demetrius Poliorcetes, bangsa Rodos membangun Kolosus di Rodos untuk memperingati kemenangan mereka. Mereka mempertahankan kemerdekaan mereka dengan mempertahankan angkatan laut yang kuat, mempertahankan posisi netral dan bertindak untuk menjaga keseimbangan kekuasaan antara kerajaan-kerajaan Helenistik inti.[23]

Awalnya Rodos memiliki hubungan yang sangat dekat dengan kerajaan Ptolemaik. Rodos kemudian menjadi sekutu Romawi melawan Seleukia, menguasai beberapa wilayah di Karia dalam Perang Romawi-Seleukia. Roma akhirnya berpaling dari Rodos dan mencaplok pulau itu sebagai provinsi Romawi.

Pesisir barat Balkan dihuni oleh berbagai suku dan kerajaan Illiria seperti kerajaan Dalmati dan Ardiaei, yang sering terlibat dalam pembajakan di bawah Ratu Teuta (memerintah 231–227 SM). Lebih jauh ke pedalaman terdapat Kerajaan Paeonia dan suku Agrianos. Bangsa IIlliria di pantai Laut Adriatik berada dalam pengaruh Hellenisasi dan beberapa suku disana menggunakan bahasa Yunani, menjadi bilingual [24][25][26] karena kedekatannya dengan koloni Yunani di Illiria. Illiria mengimpor senjata dan baju besi dari Yunani Kuno (seperti helm jenis Illiria, aslinya jenis Yunani) dan juga menambahkan ornamen Makedonia pada perisai dan sabuk perang mereka.[27][28][29]

Kerajaan Odrisia adalah penyatuan suku-suku Trakia di bawah raja-raja suku Odrisia yang kuat yang berpusat di sekitar wilayah Trakia. Berbagai bagian wilayah Trakia berada di bawah pemerintahan Makedonia di bawah Filipus II, Aleksander Agung, Lysimakhos, Ptolemy II, dan Philip   V tetapi juga sering diperintah oleh raja mereka sendiri. Thrakia dan Agrianos banyak digunakan oleh Alexander sebagai peltast dan kavaleri ringan, membentuk sekitar seperlima pasukannya.[30] Diadochi juga menggunakan tentara bayaran Thrakia di pasukan mereka dan mereka juga digunakan sebagai penjajah. Bangsa Odry menggunakan bahasa Yunani sebagai bahasa administrasi [31] dan kaum bangsawan. Para bangsawan juga mengadopsi mode Yunani dalam pakaian, ornamen dan peralatan militer, menyebarkannya ke suku-suku lain.[32] Raja-raja Thrakia adalah yang pertama terpengaruh Hellenisasi.[33]

Setelah tahun 278 SM, orang-orang Odrisia memiliki pesaing yang kuat di Kerajaan Seltik Tylis yang diperintah oleh raja Komontorios dan Kavaros, tetapi pada tahun 212 SM mereka menaklukkan musuh-musuh mereka dan menghancurkan ibukota mereka.

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Alexander The Great and the Hellenistic Age. Green P. ISBN 978-0-7538-2413-9
  2. ^ Alexander The Great and the Hellenistic Age, hlm. xiii. Green P. ISBN 978-0-7538-2413-9
  3. ^ Hellenistic Civilization Diarsipkan 2008-07-05 di Wayback Machine., Western New England College
  4. ^ Ἑλληνιστής. Liddell, Henry George; Scott, Robert; A Greek–English Lexicon at the Perseus Project.
  5. ^ Chaniotis, Angelos (2011). Greek History: Hellenistic. Oxford Bibliographies Online Research Guide. Oxford University Press. hlm. 8. ISBN 9780199805075. 
  6. ^ Arnold, Matthew (1869). "Chapter IV". Culture and Anarchy. Smith, Elder & Co. hlm. 143.  Arnold, Matthew; Garnett, Jane (editor) (2006). "Chapter IV". Culture and Anarchy. Oxford University Press. hlm. 96. ISBN 978-0-19-280511-9. 
  7. ^ a b F.W. Walbank et al. THE CAMBRIDGE ANCIENT HISTORY, SECOND EDITION, VOLUME VII, PART I: The Hellenistic World, p. 1.
  8. ^ Green, Peter (2008). Alexander The Great and the Hellenistic Age. London: Orion. ISBN 978-0-7538-2413-9. 
  9. ^ Green, Peter (2007). The Hellenistic Age (A Short History). New York: Modern Library Chronicles. 
  10. ^ Green, Peter (1990); Alexander to Actium, the historical evolution of the Hellenistic age. University of California Press. Pages 7-8.
  11. ^ Green (1990), hlm. 9.
  12. ^ Green (1990), hlm. 14.
  13. ^ Green (1990), hlm. 21.
  14. ^ Green (1990), hlm. 30–31.
  15. ^ Green (1990), hlm. 126.
  16. ^ Green (1990), hlm. 129.
  17. ^ Green (1990), hlm. 134.
  18. ^ Green (1990), hlm. 199
  19. ^ Bugh, Glenn R. (penyunting). The Cambridge Companion to the Hellenistic World, 2007. hlm. 35
  20. ^ Green, Peter; Alexander to Actium, the historical evolution of the Hellenistic age, hlm. 11.
  21. ^ McGing, BC. The Foreign Policy of Mithridates VI Eupator, King of Pontus, hlm. 17.
  22. ^ Green (1990), hlm. 139.
  23. ^ Berthold, Richard M., Rhodes in the Hellenistic Age, Cornell University Press, 1984, hlm. 12.
  24. ^ Stanley M. Burstein, Walter Donlan, Jennifer Tolbert Roberts, and Sarah B. Pomeroy. A Brief History of Ancient Greece: Politics, Society, and Culture. Oxford University Press hlm. 255
  25. ^ The Cambridge Ancient History, Volume 6: The Fourth Century BC by D. M. Lewis (Editor), John Boardman (Editor), Simon Hornblower (Editor), M. Ostwald (Editor), ISBN 0-521-23348-8, 1994, page 423, "Through contact with their Greek neighbors some Illyrian tribe became bilingual (Strabo Vii.7.8.Diglottoi) in particular the Bylliones and the Taulantian tribes close to Epidamnus"
  26. ^ Dalmatia: research in the Roman province 1970-2001 : papers in honour of J.J by David Davison, Vincent L. Gaffney, J. J. Wilkes, Emilio Marin, 2006, page 21, "...completely Hellenised town..."
  27. ^ The Illyrians (The Peoples of Europe) by John Wilkes, 1996, page 233&236, "The Illyrians liked decorated belt-buckles or clasps (see figure 29). Some of gold and silver with openwork designs of stylised birds have a similar distribution to the Mramorac bracelets and may also have been produced under Greek influence."
  28. ^ Carte de la Macédoine et du monde égéen vers 200 av. J.-C.
  29. ^ The Illyrians: history and culture, History and Culture Series, The Illyrians: History and Culture, Aleksandar Stipčević, ISBN 0-8155-5052-9, 1977, hlm. 174
  30. ^ Webber, Christopher; Odyrsian arms equipment and tactics.
  31. ^ The Odrysian Kingdom of Thrace: Orpheus Unmasked (Oxford Monographs on Classical Archaeology) by Z. H. Archibald,1998,ISBN 0-19-815047-4, page 3
  32. ^ The Odrysian Kingdom of Thrace: Orpheus Unmasked (Oxford Monographs on Classical Archaeology) by Z. H. Archibald,1998,ISBN 0-19-815047-4, page 5
  33. ^ The Peloponnesian War: A Military Study (Warfare and History) by J. F. Lazenby,2003, page 224,"... number of strongholds, and he made himself useful fighting 'the Thracians without a king' on behalf of the more Hellenized Thracian kings and their Greek neighbours (Nepos, Alc. ...

Bacaan lanjutan

[sunting | sunting sumber]
  • Austin, Michel M., The Hellenistic world from Alexander to the Roman conquest: a selection of ancient sources in translation, Cambridge University Press, 1981. ISBN 0-521-22829-8
  • Cary, Max, A History of the Greek World from 323 to 146 B. C., London: Methuen & Co. Ltd., 1932
  • Bugh, Glenn Richard (penyunting). The Cambridge Companion to the Hellenistic World. Cambridge: Cambridge University Press, 2006.
  • Börm, Henning and Nino Luraghi (penyunting.). The Polis in the Hellenistic World. Stuttgart: Franz Steiner Verlag, 2018.
  • Chamoux, François. Hellenistic Civilization. Malden, MA: Blackwell Pub., 2003.
  • Champion, Michael and Lara O'Sullivan. Cultural Perceptions of Violence In the Hellenistic World. New York: Routledge, 2017.
  • Erskine, Andrew (penyunting). A Companion to the Hellenistic World. Hoboken: Wiley, 2008.
  • Goodman, Martin. “Under the influence: Hellenism in ancient Jewish life.” Biblical Archaeology Review 36, no. 1 (2010), 60.
  • Grainger, John D. Great Power Diplomacy In the Hellenistic World. New York: Routledge, 2017.
  • Green, Peter. Alexander to Actium: The Historical Evolution of the Hellenistic Age. Berkeley: University of California Press, 1990.
  • Kralli, Ioanna. The Hellenistic Peloponnese: Interstate Relations: a Narrative and Analytic History, From the Fourth Century to 146 BC. Swansea: The Classical Press of Wales, 2017.
  • Lewis, D. M., John Boardman, and Simon Hornblower. Cambridge Ancient History Vol. 6: The Fourth Century BC. Edisi kedua. Cambridge: Cambridge University Press, 1994.
  • Rimell, Victoria and Markus Asper. Imagining Empire: Political Space In Hellenistic and Roman Literature. Heidelberg: Universitätsverlag Winter GmbH, 2017.
  • Thonemann, Peter. The Hellenistic Age. First edition. Oxford: Oxford University Press, 2016.
  • Walbank, F. W. The Hellenistic World. Cambridge: Harvard University Press, 1982.

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]